Monday, July 30, 2018

Pertempuran 3: Jodohku. Maunya-ku SNU. Begitulah Om Anang Mengajarkanku.

Beasiswa sudah aman dalam genggaman.
Saya bertepuk tangan.
Bahagia dengan senyum lebar yang nyatanya hanya bertahan satu hari karena akhirnya saya lagi-lagi ditampar kenyataan.
Saya belum resmi terdaftar sebagai mahasiswa di kampus mana pun, di negara mana pun bahkan ketika saya sudah dinobatkan sebagai awardee LPDP.
Ibarat sudah berdiri di depan gerbang kantor KUA. Lengkap dengan baju pengantin. Tapi tak ada mempelai prianya.
Fana.
Ketika mendaftar beasiswa, saya harus mengisi kolom universitas yang akan menjadi tempat melanjutkan S2. Saya kumpulkan remah-remah keberanian, serpihan-serpihan harapan, dan sebongkah besar kepercayaan diri (atau mungkin rasa tidak tahu malu. Entah yang mana yang lebih tepat). Kolom itu saya isi dengan: Korea Selatan. Seoul National University.
Sekali lagi, Seoul National University.

Masih belum mendapatkan sensasi mengerikannya?
Bisa saya jelaskan.

Korea Selatan punya 3 universitas yang mereka anggap sebagai universitas terfavorit, terbaik, ternama dan sebut lah segala ter- yang ada di kamus anda. Peringkat 2 dan 3 ditempati oleh Yonsei University (dikenal dengan Yondae, singkatan dari Yonsei Daehakyo) dan Korea University (dikenal dengan KU atau Kodae, singkatan dari Koryeo Daehakyo).
Peringkat pertama?
Benar. Seoul National University, yang biasa dikenal dengan Seouldae atau SNU.
Dan Farah Dineva Rustam yang sepertinya salah minum obat di hari pengisian formulir, memilih kampus itu.
Berani-beraninya.

Saya ingat hanya punya waktu singkat untuk mempersiapkan semua dokumen untuk mendaftar sebagai mahasiswa. Legalisir surat ini itu, mengajukan permohonan untuk surat ini itu. Sakit kepala tingkat pertama. Melakukan pendaftaran online dengan membayar uang pendaftaran 90,000 Won atau setara 1 juta Rupiah, yang bahkan bila saya gagal diterima sebagai mahasiswa, uang itu akan lenyap begitu saja. Sakit kepala tingkat kedua. Mengirimkan dokumen-dokumen yang diminta melalui pos dengan biaya pengiriman yang bisa dikatakan lumayan ditambah dengan kekhawatiran akan kah dokumen itu tiba dengan selamat dan tepat waktunya. Sakit kepala tingkat ketiga.
Di tingkat itu saya sudah nyaris meledak.
Senggol, bacok. Colek, ngamuk. Dorong, gigit.
Hari-hari saya habiskan dengan menunggu email dan menanti pengumuman.
Hingga tiba-tiba, datang sebuah email. Meminta saya mengirimkan dokumen tambahan; surat keterangan kematian ibu kandung saya untuk menggantikan paspor ibu yang menjadi salah satu syarat dokumen.
"Terus nanti sudah dikirim, malah enggak keterima jadi mahasiswa di sana. Buang-buang uang buat biaya pos kan namanya!" saya bersungut-sungut. Menggosok panci yang sedang saya cuci dengan murka, seolah ada dendam pribadi antara sang panci dan saya.
"Ikuti saja. Enggak masalah. Justru di situ mereka melihat keseriusan Kakak sebagai calon mahasiswa mereka. Tandanya Kakak memang niat mau sekolah di sana. Mereka akan menilai itu juga," Papa menjelaskan dengan sabar.
Sejak itu, saya memahami sebuah konsep; niat.
Jika sudah niat, tidak ada yang terlalu susah atau terlalu berat untuk dilakukan dan dikejar.
Sama seperti cinta.
Jika sudah cinta, tidak ada yang terlalu susah atau terlalu berat untuk dilakukan dan dikejar.
Sebuah motivasi untuk menunggu Abang Song Joongki kembali ke pelukan saya. Bila itu terlalu sulit, menjadi pembantu di rumahnya pun tak apa. Memandang dari jauh pun saya bahagia.

Proses menunggu pengumuman penerimaan cukup lama. Mendaftar online di bulan Februari dan pengumuman di bulan Juni (karena saya mendaftar untuk semester Fall 2016 atau semester musim gugur tahun 2016). Artinya, nasib saya luntang-lantung selama 4 bulan. Namun, saya menutup rapat perkara pendaftaran kuliah di Korea dari orang-orang sekitar saya. Hanya diketahui oleh keluarga dekat, teman dekat, guru bahasa Korea, dan beberapa dosen di kampus tempat saya menimba ilmu selama S1 (karena saya membutuhkan surat-surat seperti rekomendasi dan sebagainya, maka tidak ada cara untuk menjadikannya murni rahasia). Saya tidak pergi ke sana-sini untuk bercerita soal saya mendaftar sekolah di Korea. Tidak menyinggung di percakapan kecuali ditanya. Tidak pula menulis status di social media.
Alasannya?
Malu. Takut tak diterima tapi terlanjur gembar-gembor sana-sini. Takut takabur. Bahkan hanya dengan diketahui oleh beberapa orang yang saya sebut di atas, saya sudah frustasi dan khawatir sekali.
Saya ingat pernah mengucap ini kepada sahabat saya, "Pokoknya kalau enggak keterima, mending pindah ke desa dan mulai kehidupan baru dengan bertani."
Bertani. Menanam bunga matahari di pekarangan saja nyaris mati. Konon lagi, mau jadi petani. Kalau dipaksa ya paling pantasnya saya jadi sapi. Tapi begitulah sekiranya penggambaran betapa malu yang saya rasa harus ditanggung bila tidak lulus nanti. Harus diakui, saya sangat suportif kepada orang lain, namun jahat dan keras sekali kepada diri sendiri.

Berbulan-bulan menunggu dengan hanya mendaftar ke satu universitas (dan ini sangat beresiko sekali karena saya tidak punya universitas cadangan). Sampai tiba akhirnya, hari dimana nasib saya dipertaruhkan.
9 Juni 2016.
Hari yang akan selalu saya ingat. Pasalnya, 9 Juni adalah hari peringatan debut grup Kpop favorit saya; Infinite. Maka sudah bertahun-tahun, ritual saya di hari itu tak jauh-jauh dari menulis tweet dan hashtag sebanyak yang saya bisa. Ya, bila anda juga seorang penggemar, entah apa pun itu, maka mudah bagi anda membayangkan euforianya.
Tapi 9 Juni di tahun itu berbeda. Saya masih wara-wiri di social media, tapi tidak sebanyak biasanya. "Kalau tidak lulus, berarti setiap tahun di hari anniversary Infinite akan jadi kenangan buruk lah."
Saya duduk di tepi tempat tidur, menggoyang-goyangkan kaki gelisah.
"Kalau tidak lulus, harus bilang apa ke Papa."
Saya mulai mondar-mandir tak jelas tujuannya apa.
"DAN DEMI LANGIT DAN BUMI, SUDAH SORE BEGINI BELUM ADA PENGUMUMAN APA-APA!"
Saya tinggal selangkah lagi dari menendang pintu kamar mandi sampai tiba-tiba status pendaftaran ternyata berubah.


Saya terpekik perlahan. Sujud syukur dengan tubuh bergetar dan air mata yang siap jatuh kapan saja. Lalu bergegas berlari keluar untuk mencari orang tua saya.
"Kakak diterima!"
Saat itu jelas salah satu momen terbaik dalam hidup saya selama lebih dari 26 tahun di dunia. Pelukan dan senyuman lega keluarga mengangkat semua beban berat di pundak selama 3 tahun perjuangan saya mencari beasiswa S2.
Saya cetak lembar yang ditautkan di status pendaftaran dan saya pandangi lama-lama.
Confirmation of Acceptance.
Nama saya yang ditulis dengan bahasa Korea.
Stempel berwarna merah yang terlihat asing di mata.
Tulisan 서울대학교 yang sudah saya hafal di luar kepala.
Memang, jika Allah sudah berkehendak, tidak ada yang mustahil untuk menjadi nyata.
Memang, hanya Allah yang bisa dijadikan pengharapan ketika ada yang ingin dipinta.

Saya berbisik lirik, masih setengah tak percaya.
"Seoul National University, Farah Dineva."

Note:
Bagi anda yang ingin mendaftar untuk menjadi mahasiswa Seoul National University, silakan lihat persyaratan lengkap di website berikut ini. Mereka menyediakan formulir dan guideline yang bisa dibaca mengenai proses pendaftaran, jurusan, dan lainnya. Selamat membaca! Ingat, tidak ada yang sulit bagi seseorang yang punya niat.
Pendaftaran SNU (SNU Admission): http://en.snu.ac.kr/apply/graduate/timeline
SNU College of Nursing: http://nursing.snu.ac.kr/en

2 comments:

  1. Waaa mantab kak 👍👍👍. Ditunggu cerita lainnya seputar SNU

    ReplyDelete
  2. Suka banget sama perjuangan kakak Farah . Highly motivational story :)

    ReplyDelete