Monday, July 30, 2018

Pertempuran 3: Jodohku. Maunya-ku SNU. Begitulah Om Anang Mengajarkanku.

Beasiswa sudah aman dalam genggaman.
Saya bertepuk tangan.
Bahagia dengan senyum lebar yang nyatanya hanya bertahan satu hari karena akhirnya saya lagi-lagi ditampar kenyataan.
Saya belum resmi terdaftar sebagai mahasiswa di kampus mana pun, di negara mana pun bahkan ketika saya sudah dinobatkan sebagai awardee LPDP.
Ibarat sudah berdiri di depan gerbang kantor KUA. Lengkap dengan baju pengantin. Tapi tak ada mempelai prianya.
Fana.
Ketika mendaftar beasiswa, saya harus mengisi kolom universitas yang akan menjadi tempat melanjutkan S2. Saya kumpulkan remah-remah keberanian, serpihan-serpihan harapan, dan sebongkah besar kepercayaan diri (atau mungkin rasa tidak tahu malu. Entah yang mana yang lebih tepat). Kolom itu saya isi dengan: Korea Selatan. Seoul National University.
Sekali lagi, Seoul National University.

Masih belum mendapatkan sensasi mengerikannya?
Bisa saya jelaskan.

Korea Selatan punya 3 universitas yang mereka anggap sebagai universitas terfavorit, terbaik, ternama dan sebut lah segala ter- yang ada di kamus anda. Peringkat 2 dan 3 ditempati oleh Yonsei University (dikenal dengan Yondae, singkatan dari Yonsei Daehakyo) dan Korea University (dikenal dengan KU atau Kodae, singkatan dari Koryeo Daehakyo).
Peringkat pertama?
Benar. Seoul National University, yang biasa dikenal dengan Seouldae atau SNU.
Dan Farah Dineva Rustam yang sepertinya salah minum obat di hari pengisian formulir, memilih kampus itu.
Berani-beraninya.

Saya ingat hanya punya waktu singkat untuk mempersiapkan semua dokumen untuk mendaftar sebagai mahasiswa. Legalisir surat ini itu, mengajukan permohonan untuk surat ini itu. Sakit kepala tingkat pertama. Melakukan pendaftaran online dengan membayar uang pendaftaran 90,000 Won atau setara 1 juta Rupiah, yang bahkan bila saya gagal diterima sebagai mahasiswa, uang itu akan lenyap begitu saja. Sakit kepala tingkat kedua. Mengirimkan dokumen-dokumen yang diminta melalui pos dengan biaya pengiriman yang bisa dikatakan lumayan ditambah dengan kekhawatiran akan kah dokumen itu tiba dengan selamat dan tepat waktunya. Sakit kepala tingkat ketiga.
Di tingkat itu saya sudah nyaris meledak.
Senggol, bacok. Colek, ngamuk. Dorong, gigit.
Hari-hari saya habiskan dengan menunggu email dan menanti pengumuman.
Hingga tiba-tiba, datang sebuah email. Meminta saya mengirimkan dokumen tambahan; surat keterangan kematian ibu kandung saya untuk menggantikan paspor ibu yang menjadi salah satu syarat dokumen.
"Terus nanti sudah dikirim, malah enggak keterima jadi mahasiswa di sana. Buang-buang uang buat biaya pos kan namanya!" saya bersungut-sungut. Menggosok panci yang sedang saya cuci dengan murka, seolah ada dendam pribadi antara sang panci dan saya.
"Ikuti saja. Enggak masalah. Justru di situ mereka melihat keseriusan Kakak sebagai calon mahasiswa mereka. Tandanya Kakak memang niat mau sekolah di sana. Mereka akan menilai itu juga," Papa menjelaskan dengan sabar.
Sejak itu, saya memahami sebuah konsep; niat.
Jika sudah niat, tidak ada yang terlalu susah atau terlalu berat untuk dilakukan dan dikejar.
Sama seperti cinta.
Jika sudah cinta, tidak ada yang terlalu susah atau terlalu berat untuk dilakukan dan dikejar.
Sebuah motivasi untuk menunggu Abang Song Joongki kembali ke pelukan saya. Bila itu terlalu sulit, menjadi pembantu di rumahnya pun tak apa. Memandang dari jauh pun saya bahagia.

Proses menunggu pengumuman penerimaan cukup lama. Mendaftar online di bulan Februari dan pengumuman di bulan Juni (karena saya mendaftar untuk semester Fall 2016 atau semester musim gugur tahun 2016). Artinya, nasib saya luntang-lantung selama 4 bulan. Namun, saya menutup rapat perkara pendaftaran kuliah di Korea dari orang-orang sekitar saya. Hanya diketahui oleh keluarga dekat, teman dekat, guru bahasa Korea, dan beberapa dosen di kampus tempat saya menimba ilmu selama S1 (karena saya membutuhkan surat-surat seperti rekomendasi dan sebagainya, maka tidak ada cara untuk menjadikannya murni rahasia). Saya tidak pergi ke sana-sini untuk bercerita soal saya mendaftar sekolah di Korea. Tidak menyinggung di percakapan kecuali ditanya. Tidak pula menulis status di social media.
Alasannya?
Malu. Takut tak diterima tapi terlanjur gembar-gembor sana-sini. Takut takabur. Bahkan hanya dengan diketahui oleh beberapa orang yang saya sebut di atas, saya sudah frustasi dan khawatir sekali.
Saya ingat pernah mengucap ini kepada sahabat saya, "Pokoknya kalau enggak keterima, mending pindah ke desa dan mulai kehidupan baru dengan bertani."
Bertani. Menanam bunga matahari di pekarangan saja nyaris mati. Konon lagi, mau jadi petani. Kalau dipaksa ya paling pantasnya saya jadi sapi. Tapi begitulah sekiranya penggambaran betapa malu yang saya rasa harus ditanggung bila tidak lulus nanti. Harus diakui, saya sangat suportif kepada orang lain, namun jahat dan keras sekali kepada diri sendiri.

Berbulan-bulan menunggu dengan hanya mendaftar ke satu universitas (dan ini sangat beresiko sekali karena saya tidak punya universitas cadangan). Sampai tiba akhirnya, hari dimana nasib saya dipertaruhkan.
9 Juni 2016.
Hari yang akan selalu saya ingat. Pasalnya, 9 Juni adalah hari peringatan debut grup Kpop favorit saya; Infinite. Maka sudah bertahun-tahun, ritual saya di hari itu tak jauh-jauh dari menulis tweet dan hashtag sebanyak yang saya bisa. Ya, bila anda juga seorang penggemar, entah apa pun itu, maka mudah bagi anda membayangkan euforianya.
Tapi 9 Juni di tahun itu berbeda. Saya masih wara-wiri di social media, tapi tidak sebanyak biasanya. "Kalau tidak lulus, berarti setiap tahun di hari anniversary Infinite akan jadi kenangan buruk lah."
Saya duduk di tepi tempat tidur, menggoyang-goyangkan kaki gelisah.
"Kalau tidak lulus, harus bilang apa ke Papa."
Saya mulai mondar-mandir tak jelas tujuannya apa.
"DAN DEMI LANGIT DAN BUMI, SUDAH SORE BEGINI BELUM ADA PENGUMUMAN APA-APA!"
Saya tinggal selangkah lagi dari menendang pintu kamar mandi sampai tiba-tiba status pendaftaran ternyata berubah.


Saya terpekik perlahan. Sujud syukur dengan tubuh bergetar dan air mata yang siap jatuh kapan saja. Lalu bergegas berlari keluar untuk mencari orang tua saya.
"Kakak diterima!"
Saat itu jelas salah satu momen terbaik dalam hidup saya selama lebih dari 26 tahun di dunia. Pelukan dan senyuman lega keluarga mengangkat semua beban berat di pundak selama 3 tahun perjuangan saya mencari beasiswa S2.
Saya cetak lembar yang ditautkan di status pendaftaran dan saya pandangi lama-lama.
Confirmation of Acceptance.
Nama saya yang ditulis dengan bahasa Korea.
Stempel berwarna merah yang terlihat asing di mata.
Tulisan 서울대학교 yang sudah saya hafal di luar kepala.
Memang, jika Allah sudah berkehendak, tidak ada yang mustahil untuk menjadi nyata.
Memang, hanya Allah yang bisa dijadikan pengharapan ketika ada yang ingin dipinta.

Saya berbisik lirik, masih setengah tak percaya.
"Seoul National University, Farah Dineva."

Note:
Bagi anda yang ingin mendaftar untuk menjadi mahasiswa Seoul National University, silakan lihat persyaratan lengkap di website berikut ini. Mereka menyediakan formulir dan guideline yang bisa dibaca mengenai proses pendaftaran, jurusan, dan lainnya. Selamat membaca! Ingat, tidak ada yang sulit bagi seseorang yang punya niat.
Pendaftaran SNU (SNU Admission): http://en.snu.ac.kr/apply/graduate/timeline
SNU College of Nursing: http://nursing.snu.ac.kr/en

Tuesday, June 20, 2017

Pertempuran 2: Mengejar LPDP

(Tulisan ini pernah di-publish di website Pusaka Nusantara PK 55 LPDP bersama kisah inspiratif awardee LPDP lainnya)

Saya nyaris frustasi.
Nyaris krisis kepercayaan diri. Perkaranya, setelah menyelesaikan empat tahun masa studi S1 di Fakultas Keperawatan dan co-ass selama satu tahun pada tahun 2013, saya gamang. Tak jelas nasibnya. Saat itu, saya punya beberapa pilihan. Mengikuti jejak teman-teman seangkatan yang melamar kerja di rumah sakit umum atau swasta. Melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Atau pilihan terakhir yang demikian banyak peminatnya, yaitu menikah.

Menikah.

Wow. Terdengar sangat menarik sekali.
Tapi saya tahu benar, bukan pilihan ini yang harus saya ambil. Alasannya tentu lah karena jodoh yang belum juga tampak hilalnya. Dan karena urusan pasangan hidup ini berada di tangan Yang Maha Kuasa, saya pun menerima takdir dan biasa-biasa saja. Jauh dari lingkaran setan berkedok ‘baper’ atau ‘galau’ yang sering menghantui gadis seumuran saya. Maka sebuah pilihan pun dibuat setelah membulatkan tekad.
Saya ingin melanjutkan S2 di luar negeri.

Ya, ke luar negeri. Keluar dari zona nyaman saya selama ini. Seperti teman-teman dan kerabat yang bercerita dengan meledak-ledak penuh semangat tentang pengalaman hidup di negara lain. Terkadang mereka terpekik kala mengingat hal spektakuler yang mereka alami. Kadang kala mereka termenung, mengulang memori yang membuat mereka bermuram diri. Saat mereka rindu makan sambal goreng hati, barangkali. Saya pun sadar. Sungguh begitu banyak yang bisa dipelajari dari dunia seluas ini.
Maka suatu hari, saya berdiri di depan cermin. Berikrar bahwa tujuan hidup saya berikutnya adalah menjadi mahasiswa S2 di bidang Psychiatric Nursing atau keperawatan jiwa. Setelah lulus, saya akan dengan senang hati mengabdikan diri menjadi dosen di universitas mana saja. Lalu hidup bahagia sejahtera. Di akhirat, masuk surga. Saya mengacungkan tangan dengan heroik, menatap bayangan di cermin dengan bangga.

Mudah sekali berbicara.

Nyatanya, hampir dua tahun saya, sekali lagi, tak jelas nasibnya. Terhempas sana sini dalam mencari beasiswa. Pernah sekali waktu, saya mencoba mendaftar beasiswa KGSP. Beasiswa satu ini menerima mahasiswa dari berbagai penjuru negara yang ingin melanjutkan studi di Korea. Celakanya, hanya ada 10 orang yang akan diterima untuk negara Indonesia. Bisa ditebak, seleksi administrasi saja, saya sudah terdepak. Hingga seorang teman datang, memberi pencerahan.
“Coba ikut LPDP saja, Fa. Beasiswa itu katanya bagus, banyak yang sudah coba.”

Jujur saja, meski terdengar tak asing di telinga, saya belum tahu banyak tentang beasiswa LPDP saat itu. Yang saya tahu, jumlah peserta LPDP ini banyak sekali, berasal dari seluruh Indonesia, dan tentu pengalaman dan kapabilitas mereka tak main-main. Nyali saya semakin ciut. Berasal dari sebuah kota kecil dan tak punya prestasi luar biasa, membuat saya tersenyum kecut. Tapi semua meyakinkan saya untuk mencoba. Terutama sekali ayah yang nasehatnya kepada saya selalu berupa menikah-setelah-lulus-S2. Beliau bahkan rela mengantarkan saya mengurus semua surat yang diperlukan. Dua hari sebelum batas akhir pendaftaran online, saya duduk di sebuah warung kopi (Ya, daerah saya terkenal sekali akan warung kopinya. Akan saya ceritakan lain kali) dan mengirimkan semua dokumen yang dibutuhkan. Tepat ketika jari mengetuk tanda submit, saya merapal doa.
Bisa jadi doa itu melesat vertikal, menembus tiap lapisan langit malam. Tak kasat mata. Namun sempurna diterima oleh Sang Pengabul Doa. Atau mungkin ada malaikat mendengar lantas menyampaikan bahwa di bumi sana ada anak manusia yang malang sekali, nyaris tersedak kopi susu lantaran hampir menangis mendengar gumaman doanya sendiri. Entahlah, semua memang rahasia Ilahi. Yang pasti, beberapa minggu kemudian, saya diumumkan lulus seleksi administrasi.

Ayah saya senang bukan kepalang.
“Sudah Papa bilang kan? Pasti Kakak bisa,” ucapnya dengan mata berbinar.
“Tapi ini baru lulus seleksi administrasi.”
“Apa? Bukannya artinya sudah lulus?” Ayah terkejut.
“Masih ada seleksi substansi. Wawancara dan tes lainnya. Kan Kakak sudah bilang.” Saya ikut terkejut.
Hening. Hanya terdengar samar-samar suara Saiful Jamil dari televisi.

Saya mempersiapkan diri sembari menunggu jadwal seleksi berikutnya diumumkan. Berkunjung ke setiap blog yang saya temui. Yang paling membuat saya khawatir adalah tes wawancara. Membayangkan saja, saya sudah panas dingin. Berdasarkan beberapa blog yang saya baca, ada pertanyaan-pertanyaan yang memang kerap kali ditanyakan pada sesi ini. Tentang motivasi melanjutkan studi, tujuan universitas, alasan memilih universitas, dan jurusan yang diambil. Bagi yang ingin melanjutkan studi di luar negeri akan ditanya mengapa tak memilih universitas dalam negeri, begitu pun sebaliknya. Selain itu, ada pula pertanyaan seputar hal yang sudah ditulis di essay, pengalaman hidup, keluarga, atau bahkan menanyakan pendapat pribadi. Namun, hampir semua blog yang saya baca menulis satu hal yang sama: jadilah diri sendiri.

Jadilah diri sendiri.
Saya menutup blog tersebut dan menyunggingkan senyum puas. Kalau kuncinya adalah menjadi diri sendiri, maka tak ada masalah. Cukup menunjukkan diri saya apa adanya. Saya bertahan dengan kepercayaan diri seperti ini selama tiga hari. Di hari keempat, saya mendadak panik. ‘Menjadi diri sendiri’ macam apa yang dimaksudkan di sini? Bila sehari-hari saya bertingkah kurang serius, terkekeh-kekeh setiap lima menit sekali, apakah ini yang harus saya tampilkan di depan pewawancara? Saya harus bersikap seperti apa?

Segala kegundahan dan ketakutan saya tidak membaik dengan dirilisnya jadwal seleksi substansi. Nasib saya dipertaruhkan pada 25 dan 26 November 2015 di tanah Medan. Menempuh perjalanan darat selama 10 jam yang melelahkan dan dilanjutkan dengan belajar mengenai semua isu dan topik terhangat di Indonesia. Ayah menemani (dengan alasan anak gadis tak boleh pergi jauh sendirian), menjelaskan beberapa isu yang tak saya mengerti, memberi saya kuliah khusus mengenai ilmu ekonomi di dalam kamar penginapan kami. Lebih dari itu, ayah juga mengomel saat saya mulai menolak makan lantaran digeroti rasa frustasi.
Saya adalah peserta pertama yang tiba di hari seleksi. Dimana pagi masih terasa begitu damai. Lalu satu persatu peserta berdatangan dan makin ramai. Demi melihat wajah dan kesan yang ditimbulkan dari gerak gerik perilaku mereka, mental saya jatuh. Pecah berkeping-keping.

Mati.

Datang dari manakah sekumpulan orang-orang pintar ini? Memperhatikan mereka berlatih menjawab pertanyaan, membaca essai, bahkan ada yang menggotong buku tebal kedokteran, saya bagai burung jalak yang terperangkap dalam kumpulan merak akibat terlampau lancang dan tak tahu malu. Untuk menghilangkan stres, saya mencoba mengalihkan pikiran dengan berbincang-bincang. Ternyata ada banyak peserta yang berasal dari daerah yang sama dengan saya.
“Kakak dari Aceh juga? Kenapa saya tidak pernah lihat?” tanya seorang gadis berparas manis yang duduk di sebelah saya.
“Iya. Tidak pernah lihat bagaimana?”
“Semua yang dari Aceh sudah pernah bertemu sebelumnya, kumpul dan belajar sama-sama. Bahkan berangkat ke sini pun sama-sama.”

Mati kuadrat.

Hanya saya yang tak tahu apa-apa. Datang dengan modal nekat, tekad, dan semboyan ‘jadilah diri sendiri’ yang melekat. Habis sudah, riwayat saya sepertinya akan tamat. Terbayang nasib saya nanti akan seperti peserta tereliminasi yang terisak di acara Dangdut Akademi. Intinya, saya pasrah.
Saya mendapat jadwal seleksi selama dua hari. Beberapa peserta yang cukup beruntung, hanya mendapatkan jadwal satu hari. Seleksi hari pertama saya adalah penulisan essay di tempat, LGD (Leaderless Group Discussion), dan verifikasi dokumen. Di tahap penulisan essai, setiap kelompok harus memilih satu dari dua buah topik yang diberikan. Selama menunggu, teman di sebelah saya komat-kamit membaca catatan berisi berbagai hal penting tentang berbagai isu di Indonesia. Saya ikut mendengarkan, sembari dalam hati komat-kamit berdoa, “Ya Allah, kalau boleh meminta, berikan saja saya topik kekerasan pada anak. Atau topik hukuman kebiri pun tak apa.”
Mata saya bergerak cepat begitu panitia mempersilakan untuk membaca soal. Soal pertama tentang demografi Indonesia. Saya hanya melihat sekilas dan meneruskan membaca ke soal berikutnya. Kekerasan pada anak. Seandainya boleh, ingin rasanya saya bersorak dan berlari mengelilingi ruangan sambil menebar bunga. Topik yang satu ini sudah tidak asing bagi saya. Apalagi baru dua minggu sebelumnya saya menyorot perihal kekerasan anak dalam opini yang saya tulis di sebuah koran lokal. Maka waktu 30 menit yang diberikan pun sudah cukup untuk menuliskan essay.

Tidak menunggu lama, kelompok saya diarahkan untuk mengikuti sesi berikutnya. Kelompok harus berdiskusi sekaligus membahas solusi dari topik yang diberikan, dengan proses dipantau langsung oleh psikolog. Topik yang kami dapatkan adalah mengenai Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Ekonomi, jelas bukan bidang keahlian saya. Tapi itu tak bisa dijadikan alasan. Setelah membaca uraian singkat mengenai MEA yang tertera di kertas sebanyak tiga kali, mengingat berita-berita yang pernah saya tonton sebelumnya, mau tak mau saya harus siap memulai diskusi.
Leaderless. Maka yang diharapkan adalah bagaimana peserta tahu menempatkan dirinya dalam sebuah diskusi. Tidak terlalu menonjol, namun tidak pula mengkerut di sudut kursinya sendiri. Mampu memberi pendapat, tapi juga mampu berbesar hati untuk menghargai pendapat berbeda. Kontak mata dan perhatian penuh ketika orang lain berbicara juga penting sekali. Akibatnya, saya harus menghabiskan hampir dua menit mengangguk-anggukkan kepala bagai ayam sawan karena salah satu peserta terus melihat ke arah saya saat gilirannya berbicara. Setelah membahas solusi dari permasalahan di menit-menit terakhir, LGD selesai. Hari pertama seleksi cukup memuaskan dan tanpa kendala yang berarti.

Hari kedua adalah puncak dari semua kekhawatiran saya. Hanya beberapa peserta yang belum mendapatkan giliran wawancara karena sebagian besar sudah diwawancarai hari sebelumnya. Menunggu selama beberapa jam, saya mulai disergap hawa tak nyaman. Pendingin ruangan dan rasa gugup seolah berkonspirasi menentang saya. Mata mulai berair, tak henti menatap lekat nama saya yang telah terpampang di layar sebagai peserta berikutnya.
Tiba-tiba terdengar mesin dengan suara perempuan, layaknya yang terdengar saat anda berkunjung ke bank, menyebutkan nama saya dengan nada suaranya yang dalam dan pelan.
“Farah Dineva R. Kelompok 2. Wawancara”
Saya terlonjak dari kursi dengan panik. Setengah ingin menangis, setengah lagi ingin ke kamar kecil. Belum sempat memutuskan akan melakukan apa, seorang panitia berbicara di belakang saya.
“Dik, belum. Itu tadi cuma percobaan saja,” ia meringis tak enak hati.
Rasanya bagai dihantam oleh dua puluh palu godam di kepala. Peserta lain di belakang saya menutup mulut dengan tangan, berusaha meredam tawa. Entah kesialan macam apa, setelah berpuluh-puluh peserta, hanya saya yang terkena uji coba.

Saya melangkahkan kaki ke dalam ruang wawancara, sebuah aula besar dengan beberapa kelompok meja. Sudut mata saya menangkap beberapa peserta yang sedang menghadapi pengujinya masing-masing. Saya menelan ludah dan berjalan tegak dengan susah payah seolah kaki saya terbuat dari agar-agar.

Setelah mengucapkan salam, saya dipersilakan untuk duduk. Masing-masing penguji memperkenalkan diri. Dua orang bapak dan seorang ibu (yang diperkenalkan sebagai psikolog). Pertanyaan-pertanyaan awal tak jauh-jauh dari apa yang sudah saya tuliskan di formulir pendaftaran. Asal universitas, jurusan saya sebelumnya, asal daerah, prestasi dan sebagainya.
“Jadi Saudari Farah ingin melanjutkan ke universitas mana?”
“Seoul National University, Pak.”
“Oh…Yang annyeong haseyo-annyeong haseyo itu ya?”
Saya harus mencubit paha saya keras-keras agar tak tertawa terbahak-bahak, sebelum akhirnya menjawab dengan susah payah, “Iya.” Lalu pertanyaan dilanjutkan seputar alasan saya memilih universitas dan negara tersebut, isu yang menarik perhatian saya akhir-akhir ini. Saya ceritakan pula pengalaman saat peristiwa tsunami dan masa-masa ketika saya menjalankan co-ass di rumah sakit.
Sejauh itu semua berjalan sempurna. Semua pertanyaan saya jawab dengan lugas, menjawab secukupnya, dan kontak mata dengan penguji pun terjaga. Saya pikir nasib saya akan baik-baik saja. Sampai akhirnya, dikeluarkanlah sebuah pertanyaan pamungkas.

“Apa yang sudah anda lakukan terkait dengan isu di bidang anak yang anda sebut menarik perhatian anda selama ini?”

Saya menjawab beberapa hal yang sudah saya lakukan selama ini, sebagai seorang perawat maupun sebagai seorang yang dekat dengan dunia anak. Namun penguji yang satu ini tak puas.
“Apa hal besar yang sudah anda lakukan untuk Indonesia?”
Kembali saya menjawab dengan menyebutkan hal-hal yang sudah saya lakukan. Dan kembali pula penguji mendesak dengan pertanyaan, “Apa lagi? Apa lagi?” Kalau boleh, ingin rasanya saya menggali lubang dan bersembunyi di dalamnya. Saya kehabisan kata, tak tahu lagi harus menjawab apa. Bagaimana mungkin penguji mengharapkan saya yang berasal dari kota kecil ini melakukan sesuatu yang spektakuler, protes saya dalam hati.
“Saya memang masih punya banyak kekurangan dan minim pengalaman. Tapi seandainya saya diberikan kesempatan, saya ingin melakukan sesuatu untuk Indonesia.”
Penguji tersebut tersenyum tipis, mencoret-coret sesuatu di kertasnya, dan mengangguk ke rekan penguji di sebelah. Isyarat bahwa beliau sudah selesai dengan pertanyaannya. Isyarat yang saya tangkap sebagai kegagalan saya dalam memberikan kesan istimewa di hadapan para penguji.

Saya kembali ke kota saya dengan perasaan kecewa, mengutuk diri sendiri karena tak becus menghadapi wawancara. Seorang penguji bahkan hanya melirik saya sesekali. Selebihnya saya diacuhkan begitu saja. Benar-benar menguji mental. Siapa sangka, menghadapi penguji LPDP nyatanya jauh lebih menegangkan dibanding menghadapi calon mertua.

Luar biasa. Bukti bahwa Allah adalah Maha Pengabul Doa, saya dinyatakan lulus seleksi substansi. Selain itu, ada satu hal yang akhirnya saya sadari. Pertanyaan terakhir sang penguji. Ternyata itu bukan lah pertanyaan yang harus dijawab dengan spektakuler. Penguji hanya ingin saya menjadi jujur. Penguji hanya ingin saya menjadi diri saya sendiri, berbicara atas nama kesadaran akan kemampuan diri dan keinginan untuk mengembangkan diri. Karena memang kualitas seperti itulah yang dicari oleh LPDP.

Setiap manusia menghabiskan sepanjang hidup dengan menggantungkan harapan dan berlari mengejar mimpi. LPDP memeluk satu persatu mimpi mereka dan menjadikannya mimpi yang lebih besar. Mimpi negeri Indonesia.
Tak jadi soal bila mimpi itu diterbangkan demikian tinggi. Karena ini bukan perkara sejauh apa mereka pergi.
Namun sejauh apa mereka ingat untuk kembali.

Demi negeri ini.

Thursday, February 16, 2017

Pertempuran 1: Terlalu Terlambat untuk Menikah atau Terlalu Terlambat untuk Kuliah?

Sejak menempuh jenjang S1, ada dua hal yang saya anggap mustahil untuk terjadi di dunia. Pertama, saya diangkat menjadi menteri olahraga Indonesia. Kedua, saya kuliah di Korea. Untuk perkara pertama, saya tidak berharap dan bahkan tidak berusaha. Mana mungkin, seorang gadis yang bahkan tak becus main lompat tali bisa menjadi orang yang mengurusi dunia olahraga dan berdiri di podium menemani atlet yang baru saja memenangkan medali. Namun untuk perkara kedua, dalam diam-diam dan senyap malam, saya tak bisa mengontrol diri untuk tidak berharap. Meski demikian, semua terasa masih begitu jauh di kala itu. Saya lanjutkan perang melawan skripsi dan melanjutkan kehidupan sebagai suster muda selama koas yang membuat saya sering kali tampak lelah bagai hantu. Hingga pada akhirnya saya lulus. Resmi menyandang gelar Ners di depan nama panjang saya; Ns. Farah Dineva R., S. Kep. Gelar yang saya kira akan membuat segalanya menjadi lebih mudah.

Saya akui, saya salah.
Hidup bukan lah hidup, jika semuanya mudah. Bahkan seorang penyanyi tenar yang sudah menaikkan level "kolektor" dari jaman-filateli ke jaman-koleksi-Gucci seperti Syahrini pun, hidupnya pasti pernah susah. Hanya saja kita tak cukup dekat untuk duduk mengenal beliau dan mendengarnya berbagi kisah.

Tahun-tahun yang saya alami setelah lulus, rasanya berat dan berjalan terlalu lambat. Waktu saya lebih sering dihabiskan di rumah, bertemu teman, mengikuti acara budaya Jepang dan Korea di sebuah komunitas, mencari info beasiswa, dan mengambil kursus Toefl, IELTS bahkan bahasa Korea.

Tidak bekerja?

Tidak. Papa meyakinkan saya untuk mengutamakan niat melanjutkan S2 daripada bekerja. "Masih muda, belajar mumpung masih banyak kesempatan. Soal mencari uang, itu masih tanggung jawab papa. Biaya bisa papa cari, asalkan anak papa mau bercita-cita tinggi."

Tidak menikah?

Tidak. Papa meyakinkan saya untuk mengutamakan niat melanjutkan S2 daripada menikah. "Masih muda, belajar mumpung masih banyak kesempatan. Papa bukannya mau melarang Kakak menikah sekarang. Tapi pikirkan kalau nanti sudah punya anak yang harus diurusi. Pikirkan juga kalau barangkali nanti niat S2 tidak diterima oleh suami. Karena kalau Kakak sudah menikah, Kakak sudah jadi tanggung jawab suami. Bukan tanggung jawab papa lagi."

Saya mengangguk pelan. Beruntung lah papa memiliki saya, bukan gadis lain, sebagai anaknya. Karena saya dan papa seringkali punya pandangan dan pemikiran yang sama. Bukan satu atau pun dua teman yang saya lihat ingin melanjutkan kuliah, namun berakhir menelan pil pahit akibat sepotong kalimat dari suami, "Buat apa?"

Dan alasan teratas dari menunda menikah ini adalah jodoh yang belum jelas siapa, sedang di belahan bumi bagian mana, dan sedang berbuat apa. Sebuah misteri yang sama membingungkannya dengan sosok Yolanda yang diratapi Andika dalam lagunya.

Maka begitu lah saya menjalani hari. Mengikuti les di sana sini. Kerap kali, menghadiri acara pernikahan teman dengan dandanan ala mahasiswa, alih-alih berpakaian gamis rapi, lengkap dengan ransel tersandang di punggung karena harus segera pergi ke tempat les setelah acara usai. Lalu teman-teman akan memandang saya dengan terkejut, "Eh? Fava? Aku kira anak SMP dari mana." Saya akan membalas dengan tertawa terkikik-kikik sembari tangan menggerayangi tempat kue terdekat.

Setahun pertama setelah lulus (saya lulus koas tahun 2013), saya masih biasa saja. Tahun 2015, rasa frustasi mulai melanda. Perasaan menjadi anak tak berguna, datang tanpa bisa dicegah. Di saat teman lain mulai mampu memberi nafkah atau sekedar hadiah bagi orang tuanya, saya justru masih dibiayai sepenuhnya. Semuanya. Dari kepala hingga kaki. Dari isi perut hingga isi dompet. Saya mulai tak enak sekali. Terlebih saya masih punya tiga adik lainnya, yang masih butuh biaya kuliah dan sekolah. Bahkan saat itu bungsu kami masih bayi. Meski papa selalu berkata, "Kalau butuh beli sesuatu dan uang bulanannya nggak cukup, bilang Papa ya, Nak," saya sering kali diam. Meski bukan gadis yang gemar belanja, saya terkadang menahan diri akan barang-barang tak penting (Tapi bagi seorang gadis, entah kenapa rasanya penting. Stiker kuku bertuliskan 'Welcome', misalnya. Kenapa juga saya butuh tulisan yang notabene ada di keset kaki untuk terpampang di kuku saya) yang ingin dibeli karena keinginan, bukan kebutuhan. Saya berasal dari keluarga berkecukupan namun tidak melimpah. Saya anak sulung dari empat bersaudara. Dua fakta yang cukup membuat saya tahu diri untuk tidak terlibat dalam dunia yang mementingkan gengsi.

Seolah belum cukup buruk, keinginan saya untuk kuliah di Korea Selatan justru bagai "menabur garam di atas luka" dibandingkan "penyemangat untuk meraih cita-cita." Sejujurnya, saya tak heran bila orang menertawakan cita-cita saya ini. Saya yang dikenal sebagai gadis penyuka musik Kpop dan artis korea, hidup di ujung Sumatera, bukan peraih predikat cum laude atau pemilik IPK tertinggi di kelasnya, mendadak ingin kuliah ke Korea seperti orang yang sedang mengigau dalam mimpi. Bahkan di telinga saya, itu terdengar lucu sekali.

Saya tahu orang-orang pasti membicarakan pilihan hidup saya. Beberapa yang cukup berani, bertanya dengan mengernyitkan dahi di depan mata. Beberapa yang nyalinya sebesar kuaci, barangkali menggunjingkan saya secara sembunyi-sembunyi. Saya bangga menjadi orang Indonesia, namun harus diakui, kebiasaan (bila tak bisa disebut budaya) orang-orang dalam mengurusi perkara hidup orang lain membuat saya terganggu. Saya pun tahu, sesukses apa pun seorang wanita dalam hidupnya, ia akan dianggap 'gagal' di mata publik bila tak mampu membangun rumah tangga.

Namun, saya adalah saya.
Jalan hidup saya tak harus sama seperti wanita lainnya. Beberapa wanita menemukan tambatan hatinya lebih cepat, mengambil pilihan untuk menjadi ibu rumah tangga, mengurusi pekerjaan rumah, mengorbankan mimpi untuk berkarir demi anak dan suami. Mereka hebat.
Sementara beberapa yang lain barangkali masih mencari-cari sesosok pria yang dicintai, masih ingin memuaskan diri dalam mencoba hal baru di sana-sini, ingin membangun karir dan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka pun hebat.
Karena hidup saya, anda, dan mereka berbeda. Karena selama saya, anda, dan mereka tumbuh dewasa di dunia, ada banyak sekali hal yang masing-masing dari kita alami, yang mempengaruhi 'nilai' dan menghasilkan rajutan mimpi yang istimewa.

Orang lain berhak menilai anda. Namun, ingatlah, anda juga berhak memilih untuk bahagia.

Maka, selamat datang di pilihan hidup seorang Farah Dineva.