Tuesday, June 20, 2017

Pertempuran 2: Mengejar LPDP

(Tulisan ini pernah di-publish di website Pusaka Nusantara PK 55 LPDP bersama kisah inspiratif awardee LPDP lainnya)

Saya nyaris frustasi.
Nyaris krisis kepercayaan diri. Perkaranya, setelah menyelesaikan empat tahun masa studi S1 di Fakultas Keperawatan dan co-ass selama satu tahun pada tahun 2013, saya gamang. Tak jelas nasibnya. Saat itu, saya punya beberapa pilihan. Mengikuti jejak teman-teman seangkatan yang melamar kerja di rumah sakit umum atau swasta. Melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Atau pilihan terakhir yang demikian banyak peminatnya, yaitu menikah.

Menikah.

Wow. Terdengar sangat menarik sekali.
Tapi saya tahu benar, bukan pilihan ini yang harus saya ambil. Alasannya tentu lah karena jodoh yang belum juga tampak hilalnya. Dan karena urusan pasangan hidup ini berada di tangan Yang Maha Kuasa, saya pun menerima takdir dan biasa-biasa saja. Jauh dari lingkaran setan berkedok ‘baper’ atau ‘galau’ yang sering menghantui gadis seumuran saya. Maka sebuah pilihan pun dibuat setelah membulatkan tekad.
Saya ingin melanjutkan S2 di luar negeri.

Ya, ke luar negeri. Keluar dari zona nyaman saya selama ini. Seperti teman-teman dan kerabat yang bercerita dengan meledak-ledak penuh semangat tentang pengalaman hidup di negara lain. Terkadang mereka terpekik kala mengingat hal spektakuler yang mereka alami. Kadang kala mereka termenung, mengulang memori yang membuat mereka bermuram diri. Saat mereka rindu makan sambal goreng hati, barangkali. Saya pun sadar. Sungguh begitu banyak yang bisa dipelajari dari dunia seluas ini.
Maka suatu hari, saya berdiri di depan cermin. Berikrar bahwa tujuan hidup saya berikutnya adalah menjadi mahasiswa S2 di bidang Psychiatric Nursing atau keperawatan jiwa. Setelah lulus, saya akan dengan senang hati mengabdikan diri menjadi dosen di universitas mana saja. Lalu hidup bahagia sejahtera. Di akhirat, masuk surga. Saya mengacungkan tangan dengan heroik, menatap bayangan di cermin dengan bangga.

Mudah sekali berbicara.

Nyatanya, hampir dua tahun saya, sekali lagi, tak jelas nasibnya. Terhempas sana sini dalam mencari beasiswa. Pernah sekali waktu, saya mencoba mendaftar beasiswa KGSP. Beasiswa satu ini menerima mahasiswa dari berbagai penjuru negara yang ingin melanjutkan studi di Korea. Celakanya, hanya ada 10 orang yang akan diterima untuk negara Indonesia. Bisa ditebak, seleksi administrasi saja, saya sudah terdepak. Hingga seorang teman datang, memberi pencerahan.
“Coba ikut LPDP saja, Fa. Beasiswa itu katanya bagus, banyak yang sudah coba.”

Jujur saja, meski terdengar tak asing di telinga, saya belum tahu banyak tentang beasiswa LPDP saat itu. Yang saya tahu, jumlah peserta LPDP ini banyak sekali, berasal dari seluruh Indonesia, dan tentu pengalaman dan kapabilitas mereka tak main-main. Nyali saya semakin ciut. Berasal dari sebuah kota kecil dan tak punya prestasi luar biasa, membuat saya tersenyum kecut. Tapi semua meyakinkan saya untuk mencoba. Terutama sekali ayah yang nasehatnya kepada saya selalu berupa menikah-setelah-lulus-S2. Beliau bahkan rela mengantarkan saya mengurus semua surat yang diperlukan. Dua hari sebelum batas akhir pendaftaran online, saya duduk di sebuah warung kopi (Ya, daerah saya terkenal sekali akan warung kopinya. Akan saya ceritakan lain kali) dan mengirimkan semua dokumen yang dibutuhkan. Tepat ketika jari mengetuk tanda submit, saya merapal doa.
Bisa jadi doa itu melesat vertikal, menembus tiap lapisan langit malam. Tak kasat mata. Namun sempurna diterima oleh Sang Pengabul Doa. Atau mungkin ada malaikat mendengar lantas menyampaikan bahwa di bumi sana ada anak manusia yang malang sekali, nyaris tersedak kopi susu lantaran hampir menangis mendengar gumaman doanya sendiri. Entahlah, semua memang rahasia Ilahi. Yang pasti, beberapa minggu kemudian, saya diumumkan lulus seleksi administrasi.

Ayah saya senang bukan kepalang.
“Sudah Papa bilang kan? Pasti Kakak bisa,” ucapnya dengan mata berbinar.
“Tapi ini baru lulus seleksi administrasi.”
“Apa? Bukannya artinya sudah lulus?” Ayah terkejut.
“Masih ada seleksi substansi. Wawancara dan tes lainnya. Kan Kakak sudah bilang.” Saya ikut terkejut.
Hening. Hanya terdengar samar-samar suara Saiful Jamil dari televisi.

Saya mempersiapkan diri sembari menunggu jadwal seleksi berikutnya diumumkan. Berkunjung ke setiap blog yang saya temui. Yang paling membuat saya khawatir adalah tes wawancara. Membayangkan saja, saya sudah panas dingin. Berdasarkan beberapa blog yang saya baca, ada pertanyaan-pertanyaan yang memang kerap kali ditanyakan pada sesi ini. Tentang motivasi melanjutkan studi, tujuan universitas, alasan memilih universitas, dan jurusan yang diambil. Bagi yang ingin melanjutkan studi di luar negeri akan ditanya mengapa tak memilih universitas dalam negeri, begitu pun sebaliknya. Selain itu, ada pula pertanyaan seputar hal yang sudah ditulis di essay, pengalaman hidup, keluarga, atau bahkan menanyakan pendapat pribadi. Namun, hampir semua blog yang saya baca menulis satu hal yang sama: jadilah diri sendiri.

Jadilah diri sendiri.
Saya menutup blog tersebut dan menyunggingkan senyum puas. Kalau kuncinya adalah menjadi diri sendiri, maka tak ada masalah. Cukup menunjukkan diri saya apa adanya. Saya bertahan dengan kepercayaan diri seperti ini selama tiga hari. Di hari keempat, saya mendadak panik. ‘Menjadi diri sendiri’ macam apa yang dimaksudkan di sini? Bila sehari-hari saya bertingkah kurang serius, terkekeh-kekeh setiap lima menit sekali, apakah ini yang harus saya tampilkan di depan pewawancara? Saya harus bersikap seperti apa?

Segala kegundahan dan ketakutan saya tidak membaik dengan dirilisnya jadwal seleksi substansi. Nasib saya dipertaruhkan pada 25 dan 26 November 2015 di tanah Medan. Menempuh perjalanan darat selama 10 jam yang melelahkan dan dilanjutkan dengan belajar mengenai semua isu dan topik terhangat di Indonesia. Ayah menemani (dengan alasan anak gadis tak boleh pergi jauh sendirian), menjelaskan beberapa isu yang tak saya mengerti, memberi saya kuliah khusus mengenai ilmu ekonomi di dalam kamar penginapan kami. Lebih dari itu, ayah juga mengomel saat saya mulai menolak makan lantaran digeroti rasa frustasi.
Saya adalah peserta pertama yang tiba di hari seleksi. Dimana pagi masih terasa begitu damai. Lalu satu persatu peserta berdatangan dan makin ramai. Demi melihat wajah dan kesan yang ditimbulkan dari gerak gerik perilaku mereka, mental saya jatuh. Pecah berkeping-keping.

Mati.

Datang dari manakah sekumpulan orang-orang pintar ini? Memperhatikan mereka berlatih menjawab pertanyaan, membaca essai, bahkan ada yang menggotong buku tebal kedokteran, saya bagai burung jalak yang terperangkap dalam kumpulan merak akibat terlampau lancang dan tak tahu malu. Untuk menghilangkan stres, saya mencoba mengalihkan pikiran dengan berbincang-bincang. Ternyata ada banyak peserta yang berasal dari daerah yang sama dengan saya.
“Kakak dari Aceh juga? Kenapa saya tidak pernah lihat?” tanya seorang gadis berparas manis yang duduk di sebelah saya.
“Iya. Tidak pernah lihat bagaimana?”
“Semua yang dari Aceh sudah pernah bertemu sebelumnya, kumpul dan belajar sama-sama. Bahkan berangkat ke sini pun sama-sama.”

Mati kuadrat.

Hanya saya yang tak tahu apa-apa. Datang dengan modal nekat, tekad, dan semboyan ‘jadilah diri sendiri’ yang melekat. Habis sudah, riwayat saya sepertinya akan tamat. Terbayang nasib saya nanti akan seperti peserta tereliminasi yang terisak di acara Dangdut Akademi. Intinya, saya pasrah.
Saya mendapat jadwal seleksi selama dua hari. Beberapa peserta yang cukup beruntung, hanya mendapatkan jadwal satu hari. Seleksi hari pertama saya adalah penulisan essay di tempat, LGD (Leaderless Group Discussion), dan verifikasi dokumen. Di tahap penulisan essai, setiap kelompok harus memilih satu dari dua buah topik yang diberikan. Selama menunggu, teman di sebelah saya komat-kamit membaca catatan berisi berbagai hal penting tentang berbagai isu di Indonesia. Saya ikut mendengarkan, sembari dalam hati komat-kamit berdoa, “Ya Allah, kalau boleh meminta, berikan saja saya topik kekerasan pada anak. Atau topik hukuman kebiri pun tak apa.”
Mata saya bergerak cepat begitu panitia mempersilakan untuk membaca soal. Soal pertama tentang demografi Indonesia. Saya hanya melihat sekilas dan meneruskan membaca ke soal berikutnya. Kekerasan pada anak. Seandainya boleh, ingin rasanya saya bersorak dan berlari mengelilingi ruangan sambil menebar bunga. Topik yang satu ini sudah tidak asing bagi saya. Apalagi baru dua minggu sebelumnya saya menyorot perihal kekerasan anak dalam opini yang saya tulis di sebuah koran lokal. Maka waktu 30 menit yang diberikan pun sudah cukup untuk menuliskan essay.

Tidak menunggu lama, kelompok saya diarahkan untuk mengikuti sesi berikutnya. Kelompok harus berdiskusi sekaligus membahas solusi dari topik yang diberikan, dengan proses dipantau langsung oleh psikolog. Topik yang kami dapatkan adalah mengenai Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Ekonomi, jelas bukan bidang keahlian saya. Tapi itu tak bisa dijadikan alasan. Setelah membaca uraian singkat mengenai MEA yang tertera di kertas sebanyak tiga kali, mengingat berita-berita yang pernah saya tonton sebelumnya, mau tak mau saya harus siap memulai diskusi.
Leaderless. Maka yang diharapkan adalah bagaimana peserta tahu menempatkan dirinya dalam sebuah diskusi. Tidak terlalu menonjol, namun tidak pula mengkerut di sudut kursinya sendiri. Mampu memberi pendapat, tapi juga mampu berbesar hati untuk menghargai pendapat berbeda. Kontak mata dan perhatian penuh ketika orang lain berbicara juga penting sekali. Akibatnya, saya harus menghabiskan hampir dua menit mengangguk-anggukkan kepala bagai ayam sawan karena salah satu peserta terus melihat ke arah saya saat gilirannya berbicara. Setelah membahas solusi dari permasalahan di menit-menit terakhir, LGD selesai. Hari pertama seleksi cukup memuaskan dan tanpa kendala yang berarti.

Hari kedua adalah puncak dari semua kekhawatiran saya. Hanya beberapa peserta yang belum mendapatkan giliran wawancara karena sebagian besar sudah diwawancarai hari sebelumnya. Menunggu selama beberapa jam, saya mulai disergap hawa tak nyaman. Pendingin ruangan dan rasa gugup seolah berkonspirasi menentang saya. Mata mulai berair, tak henti menatap lekat nama saya yang telah terpampang di layar sebagai peserta berikutnya.
Tiba-tiba terdengar mesin dengan suara perempuan, layaknya yang terdengar saat anda berkunjung ke bank, menyebutkan nama saya dengan nada suaranya yang dalam dan pelan.
“Farah Dineva R. Kelompok 2. Wawancara”
Saya terlonjak dari kursi dengan panik. Setengah ingin menangis, setengah lagi ingin ke kamar kecil. Belum sempat memutuskan akan melakukan apa, seorang panitia berbicara di belakang saya.
“Dik, belum. Itu tadi cuma percobaan saja,” ia meringis tak enak hati.
Rasanya bagai dihantam oleh dua puluh palu godam di kepala. Peserta lain di belakang saya menutup mulut dengan tangan, berusaha meredam tawa. Entah kesialan macam apa, setelah berpuluh-puluh peserta, hanya saya yang terkena uji coba.

Saya melangkahkan kaki ke dalam ruang wawancara, sebuah aula besar dengan beberapa kelompok meja. Sudut mata saya menangkap beberapa peserta yang sedang menghadapi pengujinya masing-masing. Saya menelan ludah dan berjalan tegak dengan susah payah seolah kaki saya terbuat dari agar-agar.

Setelah mengucapkan salam, saya dipersilakan untuk duduk. Masing-masing penguji memperkenalkan diri. Dua orang bapak dan seorang ibu (yang diperkenalkan sebagai psikolog). Pertanyaan-pertanyaan awal tak jauh-jauh dari apa yang sudah saya tuliskan di formulir pendaftaran. Asal universitas, jurusan saya sebelumnya, asal daerah, prestasi dan sebagainya.
“Jadi Saudari Farah ingin melanjutkan ke universitas mana?”
“Seoul National University, Pak.”
“Oh…Yang annyeong haseyo-annyeong haseyo itu ya?”
Saya harus mencubit paha saya keras-keras agar tak tertawa terbahak-bahak, sebelum akhirnya menjawab dengan susah payah, “Iya.” Lalu pertanyaan dilanjutkan seputar alasan saya memilih universitas dan negara tersebut, isu yang menarik perhatian saya akhir-akhir ini. Saya ceritakan pula pengalaman saat peristiwa tsunami dan masa-masa ketika saya menjalankan co-ass di rumah sakit.
Sejauh itu semua berjalan sempurna. Semua pertanyaan saya jawab dengan lugas, menjawab secukupnya, dan kontak mata dengan penguji pun terjaga. Saya pikir nasib saya akan baik-baik saja. Sampai akhirnya, dikeluarkanlah sebuah pertanyaan pamungkas.

“Apa yang sudah anda lakukan terkait dengan isu di bidang anak yang anda sebut menarik perhatian anda selama ini?”

Saya menjawab beberapa hal yang sudah saya lakukan selama ini, sebagai seorang perawat maupun sebagai seorang yang dekat dengan dunia anak. Namun penguji yang satu ini tak puas.
“Apa hal besar yang sudah anda lakukan untuk Indonesia?”
Kembali saya menjawab dengan menyebutkan hal-hal yang sudah saya lakukan. Dan kembali pula penguji mendesak dengan pertanyaan, “Apa lagi? Apa lagi?” Kalau boleh, ingin rasanya saya menggali lubang dan bersembunyi di dalamnya. Saya kehabisan kata, tak tahu lagi harus menjawab apa. Bagaimana mungkin penguji mengharapkan saya yang berasal dari kota kecil ini melakukan sesuatu yang spektakuler, protes saya dalam hati.
“Saya memang masih punya banyak kekurangan dan minim pengalaman. Tapi seandainya saya diberikan kesempatan, saya ingin melakukan sesuatu untuk Indonesia.”
Penguji tersebut tersenyum tipis, mencoret-coret sesuatu di kertasnya, dan mengangguk ke rekan penguji di sebelah. Isyarat bahwa beliau sudah selesai dengan pertanyaannya. Isyarat yang saya tangkap sebagai kegagalan saya dalam memberikan kesan istimewa di hadapan para penguji.

Saya kembali ke kota saya dengan perasaan kecewa, mengutuk diri sendiri karena tak becus menghadapi wawancara. Seorang penguji bahkan hanya melirik saya sesekali. Selebihnya saya diacuhkan begitu saja. Benar-benar menguji mental. Siapa sangka, menghadapi penguji LPDP nyatanya jauh lebih menegangkan dibanding menghadapi calon mertua.

Luar biasa. Bukti bahwa Allah adalah Maha Pengabul Doa, saya dinyatakan lulus seleksi substansi. Selain itu, ada satu hal yang akhirnya saya sadari. Pertanyaan terakhir sang penguji. Ternyata itu bukan lah pertanyaan yang harus dijawab dengan spektakuler. Penguji hanya ingin saya menjadi jujur. Penguji hanya ingin saya menjadi diri saya sendiri, berbicara atas nama kesadaran akan kemampuan diri dan keinginan untuk mengembangkan diri. Karena memang kualitas seperti itulah yang dicari oleh LPDP.

Setiap manusia menghabiskan sepanjang hidup dengan menggantungkan harapan dan berlari mengejar mimpi. LPDP memeluk satu persatu mimpi mereka dan menjadikannya mimpi yang lebih besar. Mimpi negeri Indonesia.
Tak jadi soal bila mimpi itu diterbangkan demikian tinggi. Karena ini bukan perkara sejauh apa mereka pergi.
Namun sejauh apa mereka ingat untuk kembali.

Demi negeri ini.