Thursday, February 16, 2017

Pertempuran 1: Terlalu Terlambat untuk Menikah atau Terlalu Terlambat untuk Kuliah?

Sejak menempuh jenjang S1, ada dua hal yang saya anggap mustahil untuk terjadi di dunia. Pertama, saya diangkat menjadi menteri olahraga Indonesia. Kedua, saya kuliah di Korea. Untuk perkara pertama, saya tidak berharap dan bahkan tidak berusaha. Mana mungkin, seorang gadis yang bahkan tak becus main lompat tali bisa menjadi orang yang mengurusi dunia olahraga dan berdiri di podium menemani atlet yang baru saja memenangkan medali. Namun untuk perkara kedua, dalam diam-diam dan senyap malam, saya tak bisa mengontrol diri untuk tidak berharap. Meski demikian, semua terasa masih begitu jauh di kala itu. Saya lanjutkan perang melawan skripsi dan melanjutkan kehidupan sebagai suster muda selama koas yang membuat saya sering kali tampak lelah bagai hantu. Hingga pada akhirnya saya lulus. Resmi menyandang gelar Ners di depan nama panjang saya; Ns. Farah Dineva R., S. Kep. Gelar yang saya kira akan membuat segalanya menjadi lebih mudah.

Saya akui, saya salah.
Hidup bukan lah hidup, jika semuanya mudah. Bahkan seorang penyanyi tenar yang sudah menaikkan level "kolektor" dari jaman-filateli ke jaman-koleksi-Gucci seperti Syahrini pun, hidupnya pasti pernah susah. Hanya saja kita tak cukup dekat untuk duduk mengenal beliau dan mendengarnya berbagi kisah.

Tahun-tahun yang saya alami setelah lulus, rasanya berat dan berjalan terlalu lambat. Waktu saya lebih sering dihabiskan di rumah, bertemu teman, mengikuti acara budaya Jepang dan Korea di sebuah komunitas, mencari info beasiswa, dan mengambil kursus Toefl, IELTS bahkan bahasa Korea.

Tidak bekerja?

Tidak. Papa meyakinkan saya untuk mengutamakan niat melanjutkan S2 daripada bekerja. "Masih muda, belajar mumpung masih banyak kesempatan. Soal mencari uang, itu masih tanggung jawab papa. Biaya bisa papa cari, asalkan anak papa mau bercita-cita tinggi."

Tidak menikah?

Tidak. Papa meyakinkan saya untuk mengutamakan niat melanjutkan S2 daripada menikah. "Masih muda, belajar mumpung masih banyak kesempatan. Papa bukannya mau melarang Kakak menikah sekarang. Tapi pikirkan kalau nanti sudah punya anak yang harus diurusi. Pikirkan juga kalau barangkali nanti niat S2 tidak diterima oleh suami. Karena kalau Kakak sudah menikah, Kakak sudah jadi tanggung jawab suami. Bukan tanggung jawab papa lagi."

Saya mengangguk pelan. Beruntung lah papa memiliki saya, bukan gadis lain, sebagai anaknya. Karena saya dan papa seringkali punya pandangan dan pemikiran yang sama. Bukan satu atau pun dua teman yang saya lihat ingin melanjutkan kuliah, namun berakhir menelan pil pahit akibat sepotong kalimat dari suami, "Buat apa?"

Dan alasan teratas dari menunda menikah ini adalah jodoh yang belum jelas siapa, sedang di belahan bumi bagian mana, dan sedang berbuat apa. Sebuah misteri yang sama membingungkannya dengan sosok Yolanda yang diratapi Andika dalam lagunya.

Maka begitu lah saya menjalani hari. Mengikuti les di sana sini. Kerap kali, menghadiri acara pernikahan teman dengan dandanan ala mahasiswa, alih-alih berpakaian gamis rapi, lengkap dengan ransel tersandang di punggung karena harus segera pergi ke tempat les setelah acara usai. Lalu teman-teman akan memandang saya dengan terkejut, "Eh? Fava? Aku kira anak SMP dari mana." Saya akan membalas dengan tertawa terkikik-kikik sembari tangan menggerayangi tempat kue terdekat.

Setahun pertama setelah lulus (saya lulus koas tahun 2013), saya masih biasa saja. Tahun 2015, rasa frustasi mulai melanda. Perasaan menjadi anak tak berguna, datang tanpa bisa dicegah. Di saat teman lain mulai mampu memberi nafkah atau sekedar hadiah bagi orang tuanya, saya justru masih dibiayai sepenuhnya. Semuanya. Dari kepala hingga kaki. Dari isi perut hingga isi dompet. Saya mulai tak enak sekali. Terlebih saya masih punya tiga adik lainnya, yang masih butuh biaya kuliah dan sekolah. Bahkan saat itu bungsu kami masih bayi. Meski papa selalu berkata, "Kalau butuh beli sesuatu dan uang bulanannya nggak cukup, bilang Papa ya, Nak," saya sering kali diam. Meski bukan gadis yang gemar belanja, saya terkadang menahan diri akan barang-barang tak penting (Tapi bagi seorang gadis, entah kenapa rasanya penting. Stiker kuku bertuliskan 'Welcome', misalnya. Kenapa juga saya butuh tulisan yang notabene ada di keset kaki untuk terpampang di kuku saya) yang ingin dibeli karena keinginan, bukan kebutuhan. Saya berasal dari keluarga berkecukupan namun tidak melimpah. Saya anak sulung dari empat bersaudara. Dua fakta yang cukup membuat saya tahu diri untuk tidak terlibat dalam dunia yang mementingkan gengsi.

Seolah belum cukup buruk, keinginan saya untuk kuliah di Korea Selatan justru bagai "menabur garam di atas luka" dibandingkan "penyemangat untuk meraih cita-cita." Sejujurnya, saya tak heran bila orang menertawakan cita-cita saya ini. Saya yang dikenal sebagai gadis penyuka musik Kpop dan artis korea, hidup di ujung Sumatera, bukan peraih predikat cum laude atau pemilik IPK tertinggi di kelasnya, mendadak ingin kuliah ke Korea seperti orang yang sedang mengigau dalam mimpi. Bahkan di telinga saya, itu terdengar lucu sekali.

Saya tahu orang-orang pasti membicarakan pilihan hidup saya. Beberapa yang cukup berani, bertanya dengan mengernyitkan dahi di depan mata. Beberapa yang nyalinya sebesar kuaci, barangkali menggunjingkan saya secara sembunyi-sembunyi. Saya bangga menjadi orang Indonesia, namun harus diakui, kebiasaan (bila tak bisa disebut budaya) orang-orang dalam mengurusi perkara hidup orang lain membuat saya terganggu. Saya pun tahu, sesukses apa pun seorang wanita dalam hidupnya, ia akan dianggap 'gagal' di mata publik bila tak mampu membangun rumah tangga.

Namun, saya adalah saya.
Jalan hidup saya tak harus sama seperti wanita lainnya. Beberapa wanita menemukan tambatan hatinya lebih cepat, mengambil pilihan untuk menjadi ibu rumah tangga, mengurusi pekerjaan rumah, mengorbankan mimpi untuk berkarir demi anak dan suami. Mereka hebat.
Sementara beberapa yang lain barangkali masih mencari-cari sesosok pria yang dicintai, masih ingin memuaskan diri dalam mencoba hal baru di sana-sini, ingin membangun karir dan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka pun hebat.
Karena hidup saya, anda, dan mereka berbeda. Karena selama saya, anda, dan mereka tumbuh dewasa di dunia, ada banyak sekali hal yang masing-masing dari kita alami, yang mempengaruhi 'nilai' dan menghasilkan rajutan mimpi yang istimewa.

Orang lain berhak menilai anda. Namun, ingatlah, anda juga berhak memilih untuk bahagia.

Maka, selamat datang di pilihan hidup seorang Farah Dineva.